Selamat Datang

Kami berpegang pada prinsip tumbuh pohon; berkembang secara perlahan, tapi pasti.
Bantu kami untuk menjadi penghuni jagad digital

Friday, August 26, 2011

Telaah Perkembangan Sikap Manusia Terhadap Membaca


Oleh: H. Nutrianov Tanthawi, Lc*
                Di dalam kehidupan sehari-hari seorang manusia tidak akan pernah lepas dengan apa yang dinamakan dengan “Membaca”. Membaca adalah cara manusia memahami sesuatu yang baru. Oleh sebab itu, diawal tulisan ini penulis ingin menyampaikan bahwa terkadang banyak diantara kita salah dalam memahami proses membaca. Kesalahan dalam memahami atau mengartikan membaca, akan menyebabkan kesalahan melewati fase demi fase dari membaca tersebut. Membaca terkadang diartikan sebagai sebuah “aktifitas dimana pembaca bisa menyampaikan apa yang dia baca dengan bacaan yang benar, mengeluarkan kalimat dengan rangkaian kata yang diucapkan sesuai dengan huruf-huruf akurat, setelah itu memainkan bacaan dengan retorika se-lazim-nya dimana bacaan dimulai dengan suara yang keras dan diakhir dengan suara melemah”.  Walaupun demikian, kita harus memahami bahwa pengertian sebagain orang akan membaca sebagaimana penulis sebutkan diatas, adalah salah satu bagian dari proses membaca tersebut. Namun pengertian tersebut tidak boleh berhenti sampai disana karena sesungguhnya membaca adalah sebuah proses dinamisasi yang sangat mudah dimana proses tersebut telah melibatkan aktifitas memahami sesuatu dari berbagai macam aspek pengetahuan. Dengan demikian, dari pemahaman singkat diatas kita bisa memahami bahwa membaca bukanlah proses turun menurun layaknya sifat dasar yang dimiliki seorang anak mengikuti sifat orang tuanya, namun membaca adalah aktifitas dan kemampuan seseorang yang mana kemampuan tersebut harus dicapai dengan latihan dan belajar.
                Seandainya kita melihat pada perkembangan sejarah membacanya manusia. Maka, kita akan membagi pemahaman membaca manusia kepada beberapa tahap.
                Tahap pertama pada masa-masa awal abad ke-20 membaca hanya diartikan sebagai sebuah pemahaman terhadap huruf, kalimat, dan bagaimana cara mengucapkan rangkaian kata dan kalimat tersebut. Saat itu para ahli hanya bisa menemukan satu metode dalam membaca yaitu metode perangkaian, dimana pusat perhatian mereka hanya pada sisi fisikologi yaitu pergerakan mata, pengucapan dan apa saja yang berkaitan dengan pengucapan.
                Namun, setelah berkembang zaman pada pertengahan abad ke-20. Membaca bukan sekedar cara mengucapkan kalimat dengan benar, namun memahami bacaan dengan baik dan benar. Memahami bacaan adalah fase kedua manusia dalam memahami arti dari “membaca”. Pemahaman ini berkembang ketika salah seorang ilmuwan bernama Thorondike melakukan riset dimana sebagian besar dari para pembaca dewasa melakukan kesalahan dalam menyelesaikan permasalahan matematika. Karena dalam membaca pelajaran tersebut tidak hanya dibutuhkan mengetahui huruf dan kalimatnya saja, melainkan dibutuhkan pemahaman rumus, mempraktekkan pemahaman tersebut dan menghasilkan sesuatu yang dinginkan dari proses aplikasi rumus matematika tersebut.
                Setelah itu membaca bukan hanya sekadar mengucapkan dengan baik, kemudian memahaminya. Manusia mulai bergerak pada titik mengkritisi sebuah bacaan. Proses membaca, memahami kemudian mengkritisi adalah sebuah proses sempurna dari perjalanan manusia dalam menyikapi sebuah bacaan. Oleh sebab itu, hasil dari proses sempurna ini menghasilkan sebuah karya nyata dimana manusia mulai bisa menyelesaikan permasalah sosial,ekonomi dan bahkan politik dari sebuah bacaan.
                Namun, ternyata sikap pemahaman manusia pada “ membaca” tidak hanya berhenti sampai proses sempurna ( membaca, memahami, dan mengkritisi) diatas. Buktinya, pada akhir-akhir abad 20 manusia mulai menjadikan membaca adalah cara mereka rileksasi. Karena setelah perang dunia kedua berakhir, manusia di dunia ini mulai memiliki banyak waktu luang. Sehingga banyak dari mereka setelah memenuhi kebutuhan mereka dengan bekerja, mereka membiarkan tubuh mereka beristirahat dan membaca menjadi salah satu aktifitas mereka. Dari sinilah, mulai banyak bermunculan bacaan seperti novel dan bacaan santai lainnya. Jadi, menurut mereka membaca bukan hanya sekadar memahami kemudian mengkritisi. Akan tetapi mereka sudah mulai menikmati hasil bacaan tersebut. Semoga kita semua bisa mencapai proses rileksasi dalam membaca, yaitu membaca seluruh buku-buku di dunia ini, sehingga setiap titik pada bacaan kita menghasilkan solusi jitu untuk menghadapi permasalahan umat.


* intisari hasil bacaan penulis dari diktat buku kuliah fakultas Studi Islam dan Arab Univ.al-Azhar tingkat 4 mata kuliah “Metodologi pengajaran” bab  “cara mengajar membaca”,  karangan :Dr. Muhammad Abdul Wahab.

Itu Bukan Takdir


Oleh: Wahid Satunggal Abdul*
            Genap sudah setahun aku di negeri orang. Negeri yang banyak memberikan pelajaran. Negeri tempat ku merancang masa depan. Menggugah mata orang yang lalai akan besarnya sebuah impian. Tanpa harus melihat kekurangan yang kumiliki. Tanpa menengok kebelakang, kucoba bangkit mewujudkan cita-citaku sendiri. Termasuk harus melupakan nya. Dia yang pernah membujukku untuk mewujudkan cita-cita itu . Menasihati agar tetap rajin belajar,hingga mendapatkan beasiswa. Dan sekarang, sudah setahun aku meninggalkannya.
            Ya, terpaksa memori itu harus terulas kembali. Saat ku mendengar tentang kasus yang menimpa Ariel Peterpan dulu. Sejumlah aktifis terus menghujatnya. Meski MUI saat itu sudah memfatwakan stop menghujat Ariel. Tetap saja mereka keras kepala, rajam adalah hasratnya. Sedang pengakuan adalah sebaik-baik obat untuk sebuah dosa. Dan itu sudah dilakukan oleh vokalis yang dulu sempat saya kagumi. Meski tidak langsung turun kejalan tapi dia adalah salah satu dari mereka. Dia yang dulu saya kenal tidak eksklusif dan selau terbuka dengan keadaan, sekarang berubah menjadi monster  berjubah yang mengerikan. Setiap lelaki dianggapnya musuh kecuali Ayah dan adiknya.
            “Sungguh aneh, ajaran dari manakah ituh ?”. “Sudahlah mas broo biar mereka berdiri diatas keyakinan masing-masing toh semua ada dalilnya”. Timpal Akhyar teman sekamar ku. ” Yaa sih, cuma pemahaman dalil juga penting yar”. Jawabku datar. Kita tidak menelan mentah-mentah nash Qur’an ataupun Hadits. Harus sesuai dengan tuntunan para Ulama ,karena beliau lah satu-satunya pewaris Nabi.
            Aku yakin dia sependapat dengan para aktifis itu. Biarlah mereka berjalan diatas keyakinannya. Mendirikan negara khilafah perjuangan yang sangat mulia. Tapi bukan untuk dia, aku masih belum menerimannya. Entah kenapa hanya ada satu rasa saat ini, berhutang budi. Dia adalah pembakar motifasi sesaat sebelum bumi terbalik. Kala itu dia masih bisa tersenyum bahkan bibir tipisnya masih bisa ku lihat meski sembunyi-sembunyi.
            Sore itu dia berdiri tegak menatap cakrawala yang memburat diantara gumpalan-gumpalan awan. Aku pun demikian berdiri dibelakang berharap masuk kedalam pikirannya dan terbang bersama-sama. Mengarungi samudera biru mencari senja. ”Aku ke toilet dulu“, tiba-tiba suara itu memecah keheningan. Aku hanya memberikan anggukan diikuti senyum khas seorang lelaki. Itu lah pertama kali aku mengenalnya.Tidak ada tali yang menjerat,lepas begitu saja. Dia  pun terlihat biasa sajah, ramah dan selalu tampil ceria.
            Jujur, aku masih belum berani memandang wajahnya secara langsung. Tapi dia selalu mengelokan wajahnya menatapku tanpa ragu. Yah kita sama-sama tahu itu hal biasa. Tatapan polos tidak bisa disembunyikan dari gelagatnya. Dia muslimah yang baik ko,ujar ku dalam hati. “Baca-baca buku agama ajah seru!!” sambil mengerutkan kening. “Kamu kan dari pesantren, pasti tau banyak tentang agama”. Lagi-lagi kuberikan anggukan yang kedua tentu senyuman khas tak lupa ku sajikan untuknya.
            Dari sini aku bisa belajar dari seorang mahasiswi yang super. Memiliki spirit membaca tanpa henti. “kalah baca kalah  pintar”, katanya. Maka tidak salah kalau teman-teman menyebutnya kutu buku kampus. Tapi kali ini dia tengah memburu buku-buku agama. Ambisi yang besar untuk berkiprah demi kejayaan islam telah membuat ia suka mengoleksi buku-buku itu. Rasa takjubku semakin menjadi, dia yang tidak memiliki background pendidikan agama sama sekali tapi begitu buas mendalami syari’at .
            Udara mulai hangat bertanda senja akan segera datang. Aku dan dia masih asyik berada di dalam Gramed yang luas itu. Kadang diskusi seputar hukum-hukum syari’at yang dia baca. Jawaban yang ku berikan sepertinya tak membuatnya puas. Kelincahan retorika bicara membuatku kalah lapang saat itu. agi-lagi rasa kagum diam-diam terselip di sekujur tubuh. Ya,tak lebih dari rasa kagum.
            “Allahu Akbar..Allahu Akbar”.Suara itu menggema menggemparkan jagad raya. Tiba-tiba saja tenggorokan ini terasa dingin. Es kelapa muda tengah menjadi santapan buka puasa sore itu. Kami duduk berjejer diatas bangku panjang dibawah payung-payung hujan. Sebenarnya kelihatan romantis, ah tapi itu hanya kuungkapkan dalam hati,tak berani kubicarakan pada nya. Selanjutnya, dibalik kerudung cokelat yang ia kenakan,terselip sebuah harapan, menemaninya hingga pucuk malam. Bahkan gundukan sampah disamping gerobak  es menjadi saksi keluguan dua  insan.
            Sesaat malam semakin pekat. Meninggalkan sore   yang hangat. Kini udara berubah menjadi sejuk, entah malam itu terasa begitu tentram. Setentram jiwaku saat ini. Wajahnya terlihat samar, lampu kuning dipinggiran jalan menerangi wajahnya dari kegelapan malam. Kami berjalan menyusuri trotoar, bebas melangkah tanpa beban. Dari kejauhan terlihat jam’ah sudah membludak membanjiri masjid diawal perjumpaan malam ramadhan.
            Entah, malam itu telah menjadi malam bersejarah dalam hidup. Telah menjadi catatan penting sepanjang perjalanan mengenal seorang wanita. ”Ini buku kamu pegang dulu, biar aku wudhu duluan” sambil menyodorkan bebarapa buku yang ia beli barusan.Tanpa bicara ku raih buku itu dan menunggu giliran ia selesai. Ia masuk keruangan tempat khusus perempuan. Sedang aku masih asyik menyandarkan pundak ditembok halaman masjid. orang-orang berlalu lalang didepan tapi tak begitu kuperhatikan. Bahkan sempat ku acuhkan. Tatapan mata itu kosong. Entah-lah ada sesuatau yang menyelinap dalam benak dan pikiran.
            Shalat tarawih malam itu membuat ku semakin akrab. Canda tawa mengiringi budi pekertinya yang luhur. Bercerita panjang lebar tentang pengalaman masing-masing.Tanpa ada rasa bosan sedikitpun. Keramaian malam itu justru membuat keadaan semakin tenang. Dengan keadaan seperti itu terpaksa harus saya katakan, kebahagian meski  itu sebentar. Menjadi wanita sholihah adalah idaman setiap kaum hawa. Tak terkecuali perempuan yang sekarang berada dihadapan ku. Bahkan dia harus tersipu malu saat terang-terangan berkata “pengin jadi wanita shalihah”. Yah, perkataan itu sedikit tidak lazim apa bila dibicarakan di depan seorang lelaki. Nampaknya ambisi itu mengalahkan nalurinya sebagai mahluk yang kerap dikatakan sebagai manusia pemalu.
Malam  hendak beranjak keperaduannya. Rembulan semakin cerah menghiasi dinding langit. Tarian bintang pun bertaburan, menerangi malam yang semakin gelap. Sedang jiwa ini masih belum mau beranjak. Masih tetap mencari jawaban dari semua ini. Rasa penasaran terus membumbui pikiran. Andai malam tak berembun, andai fajar tak lagi bangun.Mungkin percakapan itu tak kan habis ditelan takdir. Biarlah malam hengkang lebih awal dari sebuah rasa yang sulit dipahami.
            Perpisahan tak kan terelakkan malam itu. Dia harus pulang sebelum larut. Walau rumah nya tidak jauh dari masjid tempat kami shalat.Tapi dia seorang anak yang taat sama orang tua. Hanya diberi waktu sampai selesai tarawih setelah itu harus pulang.
            Di pagi hari buta. Saat embun mulai  menguap menjadi waktu. Dan waktu pun terus berputar diatas porosnya. Waktu yang kadang menyengsarakan kadang juga membahagiakkan, tergantung mereka yang menggunakan waktu tersebut. Tapi kali ini, waktu yang menurut ku salah. Ia menjadikan malam itu sebagai malam   terakhir dari segalanya. Tak sempat ku temui dia kembali. Dia harus pulang ke kampus untuk mengikuti tes yang  sudah dijadwalkan. Sedang yang lebih memar, adalah aku harus pergi ketanah rantau. Bukan kepergianku yang ku sesali malah itu adalah cita-cita, tapi waktu yang tidak bersahabat. Kenapa harus sekarang tidak bisakah esok, minggu depan, atau bulan depan ?
            Mungkin salah jika aku menyalahkan takdir Tuhan, tapi itulah yang terjadi sebagai manusia biasa tentu memiliki rasa sedih dan sesal. Yah rasa itulah yang kerap menghampiri ku jelang kepergian ketanah rantau. Tapi itu cepat-cepat ku ralat. Setelah nasihat dari senior yang menggiurkan, janganlah bersedih dengan apa yang tidak seseuai dengan kehendak kita, tapi bersedihlah karena tidak bisa berdiri diatas kehendak-Nya.
            Itulah sepenggal kisah yang pernah menggerus rasa ini. Perjumpaan yang sepintas justru menyisakkan luka yang cukup lama terobati. Setahun telah kulalui tanpa lika-liku itu. Tanpa senyum, canda dan tawa manisnya. Jangan tanya berapa banyak ku menyesal, tak terhitung.
            Serpihan angin malam masih terus menemani. Sayup-sayup terdengar lantunan ayat suci, memecah keheningan sepertiga malam. Angin menjalar kesekujur tubuh, namun mata ini belum juga mau terlelap. Terasa ada yang mengganjal malam itu.  Terasa  ada yang tertinggal seandainya kuturuti kelopak mata yang mulai redup. Mungkin aku teringat sesuatu, ah bukan! lebih tepatnya sesosok. Sesosok wanita yang akhir-akhir ini singgah di ruang pikiran. Entah malam ini terasa dekat sekali dengan senyum, tawa dan gelak canda nya.
            Teka-teki itu masih belum ku temukan jawabannya. Ia masih menyelinap dalam inbox yang belum juga terbalas. Akhirnya ku putuskan untuk mencari jawaban itu. Memang kebanyakan mahasisiwa disini lebih asyik duduk berlama-lama di depan layar kaca. Walau tidak semua, hampir saja menjadi budaya. Aku pun begitu  sebelum tidur, kularikan mata ini pada kolom kotak masuk.
            Sungguh tak disangka. Aku benar-benar telah menemukan jawaban itu. Pesan datang dari nya. Apakah itu yang disebut firasat cinta ??. Entah lah, yang jelas sekarang dia mau angkat bicara.
            Paksaan atau juga kekangan. Menurutku itu sama saja. Setelah sang Ayah bergabung dengan sekelompok jama’ah, yang konon itu datang dari Saudi. Seorang Syekh yang bergamis lebar. Berjenggot lebat dan kerap memakai celana diatas mata kaki, bahkan hampir saja dibawah lutut. Itu telah merusak masa depannya. Memang disatu sisi, sang Ayah jadi lebih ‘alim. Sholat berjama’ah dimasjid selalu tepat waktu. Lebih sering ngobrol so’al agama. Bahkan hampir tiap malam, selalu ada kajian dirumahnya.
            Bukan hanya itu, sang ayah pun menumpahkannya kepada keluarga. Termasuk kepadanya. Dia pun harus mengenakkan cadar dan gamis yang hanya menghambat dia belajar. Sampai-sampai harus pindah kuliah, “ah, benar-benar seperti di neraka.” Ujarnya.
Dan yang lebih Ia takuti adalah, sang Ayah kerap membicarakan perihal jihad bersama teman-temannya. Kalau memang benar, Ayah sekarang terlibat jaringan teroris. Maka dia telah menjadi orang termalang di dunia.   “Mungkin ini sudah takdir ,“ ujarnya penuh putus asa.
            Aku benar-benar iba,mendengar semua cerita dari nya. Mungkin saat ini, kau sedang menangis, merintih, menjerit, meronta dan mengamuk sejadi-jadi nya.
            Kau mengatakan itu takdir. Takdir, banyak sekali yang tertipu dengan mahluk  yang satu ini. Bukankah takdir itu tak akan terjamah oleh nalar manusia. Janganlah mempersempit kehidupan dengan mengatakan “itu sudah suratan”. Karena masih banyak takdir-takdir yang berserakkan diluar sana dan mungkin itu lebih baik dari apa yang selama ini kita anggap sebagai takdir. Itu lah sedikit nasihat yang bisa kupersembahkan untuk sang bidadari. Sekedar menghibur menenangkan hatinya yang begitu gundah.
            Cukuplah malam berubah menjadi siang. Tapi jangan Kau rubah rasa itu menjadi lebur.  Kokohkan lah dengan keajaiban-Mu. Semua orang tahu, Engku-lah  yang menciptakan takdi yang benar-benar takdir. Malam semakin sunyi, kulihat Akhyar sudah terlelap dalam mimpi. Wajah dilayar kaca itu kupandangi dengan rasa melas. Betapa sakitnya sekarang, hidup dibawah kekangan orang tua. Sungguh tragis. Mungkin, sekarang kau sedang menangis. Mengusap-usap air mata yang menganak sungai. Merembes  hingga ke sekujur badan. Tapi sabar lah kawan, yakin kan hatimu bahwa itu bukan lah takdir. ” Karena itu semua bukan takdir.”

                                                     *Penulis adalah Mahasiswa fak. Syariah Islamiah


RAMADHAN UNTUK KEMERDEKAAN


Oleh: Sifrul Akhyar Kastolani*

                "Dirgahayu INDONESIAKU!!! Semoga lekas bangkit dari Keterpurukan.. amin." kalimat ini dengan lantang diucapkan Ahmad Farobi di akun facebooknya tepat di hari peringatan kemerdekaan Republik Indonesia ke-66. Kalimat senada banyak bertebaran di akun-akun facebook dan twitter warga Indonesia lainnya. Jika menengok kedalam realita, ungkapan alumnus Darunnajah diatas ada benarnya. Carut-marut beraneka macam persoalan politik, hukum, ekonomi, pendidikan, budaya, moral dan lain sebagainya masih silih berganti seolah tanpa ujung. Inilah yang mengindikasikan bahwa saat ini negri dengan julukan "gemah ripah loh jinawi" tersebut sedang terpuruk.
                Prestasi kita sebagai negara demokrasi secara prosedural sungguh membanggakan karena bisa melaksanakan pemilu secara damai, baik pemilu legislatif ataupun pemilu presiden. Namun, prestasi bagus dalam pemilu tersebut patut dipertanyakan manakala kita melihat tetap maraknya politik tebar pesona dan politik pragmatisme yang semakin masif di setiap agenda pemilu berlangsung. Janji-janji manis para stockholder politik berbuah isapan jempol belaka. Negara, bukan lagi milik rakyat akan tetapi milik golongan tertentu. Kata demokrasi hanya dijadikan tameng para elit politik negri ini. Akibatnya, yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin.
                Reformasi yang digulirkan 13 tahun lalu juga belum membuahkan hasil yang signifikan. Perbaikan birokrasi dari mulai tingkat kementerian hingga kelurahan juga masih menjadi slogan di mulut tanpa ada aksi yang jelas. Bahkan, reformasi birokrasi di tubuh institusi penegak hukum seakan-akan semakin flashback mengingat maraknya kasus-kasus mafia hukum yang membelenggunya. Sebutlah kasus mafia pajak Gayus, kasus rekening gendut polisi, kasus jaksa dan hakim tertangkap basah menerima suap, kasus cecak vs buaya, dan kasus-kasus lainnya yang sangat ironis dan sekaligus menggemaskan, karena sebagai aparat penegak hukum mestinya mereka memberikan contoh yang baik kepada rakyat dan mengemaskan karena presiden sebagai kepala negara seolah-olah membiarkan itu semua terjadi ataupun kalau bertindak hanya setengah-tengah dengan membentuk satgas-satgas yang semestinya tidak cukup hanya itu. Tak kalah menarik ketika menyimak episode terbaru bertema "petak umpet" antara penegak hukum dengan bendahara partai pemenang pemilu, Nazaruddin. Dengan kondisi bangsa dan negara yang masih demikian memprihatinkan dan datangnya peringatan kemerdekaan bangsa tahun ini yang bersamaan waktunya dengan pelaksanaan puasa bulan Ramadhan, semestinya momentum ini harus dimanfaatkan untuk melakukan perbaikan diri di segala lini kehidupan dan tentu muaranya adalah perbaikan kondisi bangsa Indonesia ke depan.. Perbaikan ini bisa dilakukan dengan menggalakkan kembali reformasi di segala bidang atau dengan kata lain menggelorakan reformasi jilid ke-2.
                Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 adalah puncak perjuangan bangsa ini melawan segala bentuk penjajahan dan penindasan oleh bangsa asing. Sedangkan, dalam siklus tahunan kalender Hijriyah, puasa Ramadhan pada hakekatnya juga merupakan perjuangan melawan penjajahan nafsu dan sifat-sifat hayawaniyah serta sifat-sifat syaithoniyah atas diri seorang muslim untuk mencapai kemerdekaan diri dan menjadi lebih betaqwa. Dengan demikian, bisa diambil makna bahwa hadirnya Ramadhan yang bersamaan dengan peringatan 17 Agustus tersebut, merupakan seruan kepada bangsa Indonesia untuk menuju kemerdekaan yang yang sempurna. Kemerdekaan fisik yang telah diraih itu harus disempurnakan supaya tidak merdeka secara prosedural semata, namun juga merdeka secara ruhani pula.
                Selama ini kita telah gagal memaknai arti dan menafsirkan makna kemerdekaan.. Kemerdekaan diartikan sebagai serba boleh dan serba bebas. Kemerdekaan ditafsirkan sebagai usaha untuk bebas menerabas tanpa kenal aturan dan norma-norma yang ada. Akhirnya, kemerdekaan mempunyai makna yang salah sebagai kebebasan yang tanpa batas; bebas korupsi, bebas menilap uang negara, bebas menggarong, bebas beringkar janji, bebas menindas, bebas menyeleweng, bebas menarik upeti kepada rakyat, bebas memeras dan seterusnya. Padahal semua ini adalah wujud kebobrokan hati dan mental-spiritual. Sehingga walau kita sudah merdeka, kondisi negara dan bangsa ini masih sangat memprihatinkan seperti yang diuraikan diatas.
                Pada hakekatnya, puasa sebagai pengendali diri merupakan kekuatan pembebas untuk kebobrokan hati dan mental, akan tetapi selanjutnya diumpamakan juga sebagai upaya untuk menuju kemerdekaan yang sempurna tersebut, kemerdekaan yang tidak hanya lepas dari penjajahan kaum kolonial secara prosedural, namun lebih dari itu kemerdekaan yang terbebas dari campur tangan asing pada urusan negara dan bangsa serta juga terbebas dari berbagai jeratan penyakit hati dan jiwa.
Puasa Ramadhan kali ini bertepatan dengan peringatan proklamasi kemerdekaan negara Indonesia, maka harus bisa difungsikan untuk menuju kemerdekaan sejati, yakni kemerdekaan lahir dan batin, dengan jalan menggelorakan kembali reformasi di segala bidang kehidupan. Dengan reformasi birokrasi di semua kementrian dan institusi penegakan hukum diharapkan prilaku koruptif bisa dikurangi dan dicegah. Kemudian, dengan menurunnya korupsi yang signifikan secara otomatis keadilan dalam berbangsa dan bernegara segera bisa diraih sehingga tercapailah kemakmuran yang dicita-citakan oleh para founding-father bangsa ini. Maka, mari bersama kita refleksikan hikmah Ramadhan untuk kemerdekaan Indonesia.

                                                                                               *Penulis adalah Bag. Layouter Perdana

Sholat Tarawih dan Khatmul Quran di Pondok Pesantren Darunnajah


Oleh: Fazrin*


                Sholat Tarawih merupakan sholat sunnah yang dilaksanakan pada setiap malam di bulan Ramadhan. Setiap kali Ramadhan tiba, muslimin dan muslimat berduyun-duyun menjadikan masjid penuh. Begitu pula suasana di Pondok Pesantren Darunnajah setiap bulan Ramadhan, menyelenggarakan ibadah Sholat tarawih dengan bacaan satu juz Al-Qur’an setiap malamnya, sehingga dapat mengkhatamkan 30 Juz, ini menjadi tradisi pondok sebagaimana yang dijalankan muslimin di Masjidil Haram, Mekkah. Shalat tarawih tersebut diimami oleh tiga orang hafidz yang silih berganti tugasnya. Mereka adalah Al-Hafidz Taufiqurrahman, Ust. Fair Rahmatu Sholeh dan Ust. Maemun. Tradisi mulia ini telah berlangsung selama 14 tahun silam, tepatnya pada hari Ahad, 31 Juli 2011. Jamaah ibadah tarawih di Masjid Jami’ Darunnajah sebagian besar adalah para santri, alumni, guru dan keluarga Darunnajah, serta masyarakat sekitar yang tidak mau ketinggalan. Jama’ah laki-laki memadati lantai dasar masjid sedangkan jama’ah perempuan menempati lantai dua Masjid dan serambi masjid di bagian selatan.

                Semangat beribadah, begitulah kehidupan di pondok tercinta Darunnajah. Ramadhan menjadikan semangat ini semakin menggebu-gebu, khataman al-Quran telah kental menyatu dengan sistem shalat tarawih yang terlaksana. Semoga kita menjadi pribadi yang terus beriman, dimanapun dan kapanpun.
                Segenap Keluarga Besar Pondok Pesantren Darunnajah mengucapkan “Marhaban Ya Ramadhan” Selamat manunaikan ibadah puasa di bulan suci Ramadhan 1432 H.

                                                                                            *Penulis adalah Bag. Distributor Perdana

Imam Syafi'i, Ulama Pemecah Rekor Khatam Quran Terbanyak Selama Bulan Ramadhan

oleh: M. Fajri Bajrey


                Nama lengkap Imam Syafi’i RA adalah Abu Abdillah Muhammad bin Idris bin Abbas bin Usman bin Syafi’i bin Saaib bin Ubaid bin Abdi Yazid bin Hasyim bin Abdul Mutholib bin Abdu Manaf bin Qushai. Beliau merupakan seorang mufti besar Islam Sunni dan juga pendiri mazhab Syafi'i. Imam Syafi'i juga tergolong kerabat Rasulullah, beliau keturunan Bani Muthallib, yaitu dari al-Muthallib saudara dari Hasyim, yang merupakan kakek Nabi Muhammad SAW.
                Imam Syafi’i dilahirkan di Ghuzzah, wilayah Asqolan dekat pantai laut putih (laut mati) bagian tengah Palestina (Syam), pada tahun 150 H. Yang mana bertepatan dengan tahun wafatnya Imam Abu Hanifah ra. Pada usia dua tahun, beliau dipindahkan oleh ibunya ke Mekkah, karena ayahnya meninggal dunia. Maka, beliau hidup sebagai anak yatim.
                Jalur keturunan Imam Syafi’i RA menurut silsilah ibunya adalah dari Abi Abdillah Muhammad bin Fatimah binti Abdullah bin Al Hasan bin Husain bin Ali bin Abu Tholib (paman Nabi SAW).
                Ketika berada di Mekkah Imam Syafi’i belajar dengan merujuk kepada beberapa Ulama terkenal, diantaranya : Imam Shofyan bin Uyainah, Imam Ismail bin Qustanthin, Imam Sa’ad bin Salim Al Qoddah, Imam Daud bin Abdurrahman Al Athar, Imam Abdul Hamid bin Abdul Azizi dan Imam Muslim bin Kholid. Kemudian, pada usia 20 tahun Imam Syafi’i pindah ke Madinah dan belajar dengan guru-guru terkemuka, diantaranya : Imam Abdullah bin Nafi’, Imam Muhammad bin Sa’id, Imam Ibrohim bin Abi Yahya Al Asaami, Imam Abdul Aziz bin Muhammad Al Daruri, Imam Ibrohim bin Saad Al Anshori dan Imam Malik bin Annas. Setelah itu, beliau melanjutkan perjalanan ke Irak untuk belajar dan berdiskusi dengan Ulama yang berada di Irak, diantaranya : Imam Wahab bin Jarah, Imam Hammad bin Usamah, Imam Ismail bin Ulyah, Imam Abdul Wahab bin Abdul Majid, Imam Muhammad bin Hasan dan Imam Abu Yus. Beliau berada di Irak kurang lebih dua tahun untuk mempelajari fiqih Imam Hanafi. Kemudian kembali ke Madinah dan tinggal disana selama lima tahun. Setelah itu, beliau pergi ke Yaman dan kembali ke Mekkah, beliau tinggal di Mekkah selama 17 tahun dan pada tahun 198 H, beliau pindah ke Mesir.
                Demikian perjalanan menuntut ilmu yang beliau emban, sangat panjang dan penuh keberkahan. Beliau wafat di Mesir pada hari jum’at 29 rajab 204 H, dimakamkan di Qorofah setelah ashar.
                Diantara keistimewaan Imam Syafi’i RA:
1.       Pada usia tujuh tahun, beliau telah hafal Al-qur’an 30 juz dan pada usia 10 tahun, beliau hafal kitab Al Muwattho’ ( karangan Imam Malik ra yang berisi 5000 lebih Hadits Nabi SAW ). Kemudian, pada usia 15 tahun beliau diizinkan oleh para Ulama untuk berfatwa.
2.       Telah berkata Al Imam Ahmad ra : “Imam Syafi’i selalu membagi waktu malam menjadi 3 bagian : satu pertiga malam untuk ilmu, satu pertiga malam untuk shalat dan satu pertiga malam untuk tidur atau istirahat”.
3.       Imam Syafi’i setiap hari khatam Al-qur’an dan pada bulan romadhan khatam Al-qur’an sehari dua kali sehingga selama bulan ramadhan, beliau mengkhatamkan al-Quran sebanyak 60 kali.
4.       Imam Syafi’i pernah berkata : “saya belum pernah kenyang dari umur 16 tahun karena kenyang memberatkan badan, mengeraskan hati, menghilangkan kecerdasan, membuat ngantuk dan membuat malas beribadah”.
5.       Imam Syafi’i seumur hidupnya belum pernah bersumpah ‘demi Allah’, baik sumpah bohong atau benar.
6.       Imam Syafi’i pernah ditanya tentang suatu masalah, beliau diam (tidak langsung menjawab), kemudian beliau ditanya lagi : “kenapa diam?”, jawab Imam Syafi’i : “supaya saya yakin pada kebenaran atau keutamaan antara diamnya saya atau menjawabnya saya”.
7.       Diantara do’a Imam Syafi’i : “Ya Allah, berilah anugrah kepada kami dengan bersihnya (murninya) ma’rifat atas –Mu. Ya Allah, berilah kepada kami bagusnya mu’amalah diantara kami dan bagusnya muamalah kepada –Mu menurut sunnah. Ya Allah, berilah kami rizki dengan bertawakkal kepada –Mu dan agar kami selalu berhusnuzhon kepada –Mu. Ya Allah, berilah anugrah kepada kami dan kepada semua ibadah yang mendekatkan kami kepada –Mu wahai Dzat yang Maha Mengasihi dari yang mengasihi semuanya”.
                Sosok yang istimewa dengan segala keistimewaannya, begitulah Imam besar kita, Imam Syafi’i RA. Semoga kita semua merasa termotivasi untuk lebih semangat lagi dalam beribadah setelah membaca biografi imam yang satu ini, Maha Suci Allah.
                                                                              *Penulis adalah Redaktur Pelaksana Buletin Perdana

Bergeraklah dan Terus Bergerak!

Oleh: M. Zukhruful Muhtadin
                Pergantian ataupun perubahan merupakan sesuatu yang bersifat alami di jagad raya ini, yang sering kita dengar sebagai hukum alam atau dalam agama Islam dikenal dengan sunnatullah. Seperti bergantinya siang dan malam, berubahnya usia muda menjadi tua, rasa senang menjadi sedih dan sebagainya, begitu pula berubahnya generasi, generasi terdahulu digantikan oleh generasi baru, sebagaimana yang banyak dinyatakan Allah swt dalam firman-Nya didalam Al-Qur’an dan diantaranya adalah surat Al-An’am ayat 6, yang berarti : “… Dan Kami ciptakan sesudah mereka generasi yang lain”. Perubahan, itu semua merupakan kehendak Allah SWT yang tidak bisa kita pungkiri. Dan kita sebagai hamba-Nya harus menerima, mengimani dan menjalankan itu semua dengan penuh keyakinan bahwa tidak ada satupun yang Allah ciptakan di alam ini sebagai sesuatu yang sia-sia.
                Berkaitan dengan perubahan generasi, warga IKPDN cabang Mesir baru-baru ini telah mengalami metamorfosa tersebut. Yaitu, pergantian pengurus masa bhakti 2010-2011 dengan pengurus setelahnya masa bhakti 2011-2012. Pergantian tersebut terlaksana melalui Sidang Permusyawaratan Anggota (SPA) pada tanggal 5 Agustus lalu, ini merupakan akhir tombak dari generasi yang dipimpin oleh Mahmud el-Timori yang kemudian berganti kepada generasi setelahnya yang dipimpin oleh M. Zukhruful Muhtadin.
                Salah satu hikmah secara umum dan khusus dari adanya pergantian pengurus yaitu kita sebagai generasi baru IKPDN diharapkan dapat menjadikan segala kekurangan ataupun kelebihan yang ada pada generasi terdahulu sebagai pelajaran yang harus kita perbaiki dan tingkatkan kembali, sehingga generasi setelahnya atau generasi yang sekarang kita jalankan bisa menjadi lebih baik dan tidak terjerumus pada kekurangan atau kesalahan yang ada pada generasi sebelumnya.
                Berkaca kepada kepengurusan sebelumnya, kita bisa melihat dan mengingat kembali pada SPA lalu ada beberapa catatan yang bisa kita ambil kemudian kita perbaiki pada kepengurusan tahun ini. Membahas catatan tersebut pada tulisan ini bukanlah untuk menjabarkan aib atau kekurangan kepengurusan tahun lalu, akan tetapi peningkatan dan perbaikanlah yang kita harapkan. Maka, tulisan ini merupakan sarana untuk tawaashou bilhaqqi, sebagaimana yang penulis harapkan.      
                Beberapa catatan yang dititik beratkan pada kepengurusan lalu yang dikendalikan oleh saudara Mahmud adalah kurangnya komunikasi di antara pengurus sendiri dan kurangnya loyalitas anggota kepada IKPDN. Mengapa kedua hal tersebut bisa terjadi? Memang banyak faktor yang bisa kita kaitkan untuk kedua hal tersebut. Menurut penulis sendiri, ada satu faktor yang bisa dijadikan sebagai dalang dibalik itu semua. Yaitu, kurangnya kerjasama ataupun teamwork yang dibangun di antara pengurus itu sendiri ataupun antara pengurus dan anggota. Pengurus dan anggota merupakan kesatuan tim yang ada pada suatu organisasi, yang mana kerjasama sangat dibutuhkan untuk menjadikan tim tersebut selalu eksis dan solid. Kemudian, pada akhirnya tim tersebut dapat menjalankan organisasi sesuai dengan yang diharapkan bersama.
                Kurangnya komunikasi antara pengurus dan kurangnya loyalitas anggota kepada IKPDN merupakan hal yang saling berkaitan. Dengan tidak adanya komunikasi antara pengurus, pastinya akan menimbulkan dampak tidak adanya pula komunikasi antara pengurus dengan anggota. Yang kemudian  anggota merasa tidak diperhatikan oleh jajaran pengurus, sehingga bisa dinilai sedikit wajar apabila anggota menjadi sungkan untuk berpartisipasi aktif dalam menghidupkan IKPDN. Akan tetapi, dalam hal ini pengurus juga tidak bisa dianggap sebagai pemeran tunggal yang menjadikan suasana IKPDN kurang hidup dan meriah, anggotapun ikut andil dalam memerankan suasana tersebut.
                Mengapa begitu? Ya, tentu seperti itu. Dalam sebuah  organisasi, anggota bukanlah tuan secara mutlak yang dilayani oleh para pengurus, akan tetapi anggota adalah bagian tim sebagaimana pengurus, yang diharapkan kerjasamanya dan juga etos kerjanya dalam memajukan organisasi tersebut. Sebagai anggota yang baik, sudah selayaknya kita memiliki karakter yang kritis dan inovatif, sebagaimana pengurus yang dituntut demikian. Saling menegur atau mengingatkan merupakan item yang sangat penting dalam kehidupan ber-organisasi. Maka, seyogyanya kita sebagai anggota mengingatkan pengurus yang semangat akan kewajibannya berkurang. Yaitu, dengan mendiskusikan permasalahan yang ada dan memberikan solusi-solusi tepat dan membangun. Dengan begitu, diharapkan ruh pengurus dan anggota ter-recharge, sehingga bisa tampil prima memerankan kehidupan organisasi ini.
                Kepengurusan IKPDN 2011-2012 memiliki tantangan yang serupa dengan tantangan yang dimiliki kepengurusan sebelumnya atau bahkan bertambah dengan tantangan lainnya yang siap menghadang. Harapan kita adalah IKPDN setiap tahunnya harus lebih maju dari tahun-tahun sebelumnya, minimal selangkah lebih maju. Penulis, sebagai yang menahkodai IKPDN pada tahun ini mengharapkan berbagai dukungan seluruh elemen masyarakat IKPDN, baik dari jajaran penasehat, dewan konsultatif, pengurus maupun anggota. Khususnya dukungan moril, agar kepengurusan tahun ini selalu semangat dalam mengemban amanat untuk mewarnai kehidupan IKPDN menjadi lebih hidup. Sehingga amanat ini tidak terasa sebagai beban, tetapi sebagai bahan pembelajaran yang mengesankan.
                IKPDN tidak akan ada dan hidup jika kita hanya diam dan tidak peduli. Bergeraklah! Gerakkan hati, pikiran serta potensi kita untuk IKPDN yang lebih maju! Karena di dalam pergerakkan yang semata mengharap ridho Allah SWT terdapat  keberkahan. Kita sebagai warga IKPDN harus bergerak demi kemajuan IKPDN agar selalu diiringi keberkahan dari Allah SWT. Kalau bukan kita, lantas siapa lagi?
                Hari ini, esok, lusa adalah hari yang paling berharga. Begeraklah dan terus bergerak!   
                                                                                      *Penulis adalah Ketua IKPDN Mesir 2011-2012 
        

Ramadhan dan Keteladanan

oleh:  Drs. H. Sofwan Manaf, M.Si*
                Ramadhan berasal dari kata يرمض - رمض ‘ramidha-yarmadhu’ yang berarti ‘panas yang menyengat’. Nama bulan ini sesuai dengan cuaca panas di negara-negara Arab. Suasana ini juga dirasakan pada fisik manusia ketika menjalankan ibadah puasa, yang berupa menahan lapar dan dahaga. Sementara, keteladanan berasal dari kata “teladan” yang berarti panduan, jejak, patron, pedoman, kaca atau uswah. Semua ini dapat dipendekkan menjadi satu kata yaitu contoh, serta dikembalikan kepada kata keteladanan yang berarti percontohan. Bagaimana bulan Ramadhan dapat menjadi bulan percontohan untuk kita semua? Berikut ini akan dibahas hal-hal yang berkenaan dengan masalah tersebut. 

                Untuk memulai pembahasan ini, penulis kembali kepada ayat utama perintah menjalankan ibadah puasa untuk kaum Muslim, sebagaimana difirmankan oleh Allah swt dalam al-Baqarah 183:

يأيها الذين امنوا كتب عليكم الصيام كما كتب على الذين من قبلكم لعللكم تتقون 

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”

                Ibadah puasa telah disyariatkan sejak sebelum datangnya Islam. Para umat terdahulu telah melakukan puasa sesuai dengan syariat yang telah ditentukan oleh Allah swt. Sebagaimana disebutkan oleh al-Hafidz ibn Kathir bahwa Nabi Adam berpuasa selama tiga hari pada setiap bulan. Hal ini beliau lakukan sepanjang tahun. Demikian juga, Nabi Nuh berpuasa selama setahun penuh, kecuali hari raya Idul fitri dan Idul Adha. Sementara Nabi Daud berpuasa sehari, kemudian berbuka di hari berikutnya. Hal ini beliau lakukan terus menerus. Sebagaimana Rasulullah saw bersabda,  diriwayatkan dari Abdullah bin Amr bin al ‘Ash, ”Sholat yang paling disukai Allah adalah sholat Daud dan puasa yang paling disukai Allah adalah puasa Daud. Dia (Daud) tidur seperdua malam, bangun di sepertiganya, tidur lagi di seperenamnya dan berpuasa sehari serta berbuka sehari.”(HR. Bukhari).
                Dalam sejarah perjalanan Islam, terdapat peristiwa-peristiwa penting dalam bulan Ramadhan. Perang Badar yang mana merupakan perang pertama yang dilakukan oleh umat Islam melawan kaum kafir Quraisy terjadi pada tanggal 17 Ramadhan pada tahun ke-2 H. Pada tahun ini ibadah puasa telah disyariatkan bagi umat islam. Sehingga umat Islam meskipun berperang tetap melakukan puasa, dan menang. Selain itu, peristiwa fathu Makkah pun terjadi pada bulan Ramadhan. Di Indonesia, bulan Ramadhan juga merupakan hari penting yang harus kita perhatikan. Proklamasi kemerdekaan Indonesia dibacakan pada hari Jum’at tanggal 17 Agustus 1945 M, bertepatan dengan 07 Ramadhan 1364 H. Peristiwa-peristiwa di atas penting untuk bahan refleksi dan keteladanan bagi kita bahwa bulan Ramadhan adalah bulan kesemangatan untuk berjuang, beramal dan beribadah. 
                Bulan Ramadhan bukan alasan bagi kita untuk patah semangat karena dalam kondisi berpuasa. Namun, sebaliknya dengan puasa kita semakin semangat dalam menjalankan berbagai kegiatan. Dalam belajar, kondisi orang berpuasa memiliki tingkat konsentrasi yang tinggi. Kondisi ini didukung dalam sebuah penelitian yang dilakukan John Rately, seorang psikiater dari Universitas Harvard, Amerika Serikat, menunjukkan bahwa pengaturan dan pembatasan asupan kalori meningkatkan kinerja otak. Melalui alat functional MRI ‘Magnetic Resonance Imaging’ (MRI), Rately memantau kondisi otak mereka yang berpuasa dan yang tidak. Hasilnya, orang yang berpuasa memiliki aktivitas motor korteks yang meningkat secara konsisten dan signifikan. Untuk itu, puasa menjadi latihan bagi kita semua dalam peningkatan kemampuan akal. 
                Demikian pula dalam aktifitas membaca dan menghafal, termasuk al-Qur’an. Waktu yang paling efektif adalah di bulan Ramadhan. Dengan kondisi puasa, otak akan mudah konsentrasi dan fokus dalam merekam hafalan-hafalan al-Qur’an. Hal ini dapat dilakukan pada setiap waktu setelah shalat fardhu, atau di waktu malam-malam bulan Ramadhan. Kegiatan seperti ini telah dicontohkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya yang selalu membiasakan membaca, mengkaji, dan berbagi tentang makna ayat-ayat al-Qur’an. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'Anhuma, ia berkata: “adalah Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam orang yang paling pemurah dalam kebaikan. Beliau akan semakin dermawan pada Ramadhan saat Jibril mendatanginya dan mengkaji al-Qur'an dengannya. Adalah Jibril mendatanginya setiap malam dari malam-malam bulan Ramadhan dan memperdengarkan al-Qur'an darinya. Maka pada saat ditemui Jibril, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam menjadi lebih pemurah dengan kebaikan daripada angin yang berhembus dengan lembut." (HR. Bukhari dan Muslim).
                Imam al-Ghazali di dalam kitabnya Ihya Ulumud-din membagi bahwa orang yang berpuasa terbagi menjadi tiga golongan. Pertama, golongan orang awam, yaitu orang-orang yang melakukan puasa sekedar untuk  menahan lapar dan hawa nafsu. Golongan kedua adalah orang-orang khusus, yaitu orang-orang yang berpuasa dengan menahan pendengaran, penglihatan, pembicaraan, tangan, dan kaki dari perbuatan maksiat. Mereka ini adalah orang-orang shalihin. Sementara golongan yang ketiga adalah orang-orang paling khusus (khusus al-khusus) yaitu puasanya orang-orang yang menahan hati dari keinginan keduniaan. Sehingga yang ada dalam dirinya hanya Allah swt semata. Seluruh keinginan dunia hanya dijadikan sebagai bekal untuk akhirat. Bahkan bagi mereka, ada sebuah ungkapan bahwa apabila berbuat sesuatu di siang hari hanya sekedar untuk mencari bahan (rizki) untuk berbuka puasa, yang demikian ini dianggapnya sebagai dosa. Golongan ini adalah tingkatan puasa para Nabi, Shiddiqin, dan Muqarrabin. Mudah-mudahan, dengan ibadah selama di bulan puasa ini, kita dapat mencapai dan termasuk ke dalam golongan yang tertinggi, yaitu Golongan para Nabi, Shiddiqin, dan Muqarrabin. Amin.

                                                                                       *Penulis adalah Pimpinan Pon-Pes Darunnajah