Selamat Datang

Kami berpegang pada prinsip tumbuh pohon; berkembang secara perlahan, tapi pasti.
Bantu kami untuk menjadi penghuni jagad digital

Friday, August 26, 2011

Itu Bukan Takdir


Oleh: Wahid Satunggal Abdul*
            Genap sudah setahun aku di negeri orang. Negeri yang banyak memberikan pelajaran. Negeri tempat ku merancang masa depan. Menggugah mata orang yang lalai akan besarnya sebuah impian. Tanpa harus melihat kekurangan yang kumiliki. Tanpa menengok kebelakang, kucoba bangkit mewujudkan cita-citaku sendiri. Termasuk harus melupakan nya. Dia yang pernah membujukku untuk mewujudkan cita-cita itu . Menasihati agar tetap rajin belajar,hingga mendapatkan beasiswa. Dan sekarang, sudah setahun aku meninggalkannya.
            Ya, terpaksa memori itu harus terulas kembali. Saat ku mendengar tentang kasus yang menimpa Ariel Peterpan dulu. Sejumlah aktifis terus menghujatnya. Meski MUI saat itu sudah memfatwakan stop menghujat Ariel. Tetap saja mereka keras kepala, rajam adalah hasratnya. Sedang pengakuan adalah sebaik-baik obat untuk sebuah dosa. Dan itu sudah dilakukan oleh vokalis yang dulu sempat saya kagumi. Meski tidak langsung turun kejalan tapi dia adalah salah satu dari mereka. Dia yang dulu saya kenal tidak eksklusif dan selau terbuka dengan keadaan, sekarang berubah menjadi monster  berjubah yang mengerikan. Setiap lelaki dianggapnya musuh kecuali Ayah dan adiknya.
            “Sungguh aneh, ajaran dari manakah ituh ?”. “Sudahlah mas broo biar mereka berdiri diatas keyakinan masing-masing toh semua ada dalilnya”. Timpal Akhyar teman sekamar ku. ” Yaa sih, cuma pemahaman dalil juga penting yar”. Jawabku datar. Kita tidak menelan mentah-mentah nash Qur’an ataupun Hadits. Harus sesuai dengan tuntunan para Ulama ,karena beliau lah satu-satunya pewaris Nabi.
            Aku yakin dia sependapat dengan para aktifis itu. Biarlah mereka berjalan diatas keyakinannya. Mendirikan negara khilafah perjuangan yang sangat mulia. Tapi bukan untuk dia, aku masih belum menerimannya. Entah kenapa hanya ada satu rasa saat ini, berhutang budi. Dia adalah pembakar motifasi sesaat sebelum bumi terbalik. Kala itu dia masih bisa tersenyum bahkan bibir tipisnya masih bisa ku lihat meski sembunyi-sembunyi.
            Sore itu dia berdiri tegak menatap cakrawala yang memburat diantara gumpalan-gumpalan awan. Aku pun demikian berdiri dibelakang berharap masuk kedalam pikirannya dan terbang bersama-sama. Mengarungi samudera biru mencari senja. ”Aku ke toilet dulu“, tiba-tiba suara itu memecah keheningan. Aku hanya memberikan anggukan diikuti senyum khas seorang lelaki. Itu lah pertama kali aku mengenalnya.Tidak ada tali yang menjerat,lepas begitu saja. Dia  pun terlihat biasa sajah, ramah dan selalu tampil ceria.
            Jujur, aku masih belum berani memandang wajahnya secara langsung. Tapi dia selalu mengelokan wajahnya menatapku tanpa ragu. Yah kita sama-sama tahu itu hal biasa. Tatapan polos tidak bisa disembunyikan dari gelagatnya. Dia muslimah yang baik ko,ujar ku dalam hati. “Baca-baca buku agama ajah seru!!” sambil mengerutkan kening. “Kamu kan dari pesantren, pasti tau banyak tentang agama”. Lagi-lagi kuberikan anggukan yang kedua tentu senyuman khas tak lupa ku sajikan untuknya.
            Dari sini aku bisa belajar dari seorang mahasiswi yang super. Memiliki spirit membaca tanpa henti. “kalah baca kalah  pintar”, katanya. Maka tidak salah kalau teman-teman menyebutnya kutu buku kampus. Tapi kali ini dia tengah memburu buku-buku agama. Ambisi yang besar untuk berkiprah demi kejayaan islam telah membuat ia suka mengoleksi buku-buku itu. Rasa takjubku semakin menjadi, dia yang tidak memiliki background pendidikan agama sama sekali tapi begitu buas mendalami syari’at .
            Udara mulai hangat bertanda senja akan segera datang. Aku dan dia masih asyik berada di dalam Gramed yang luas itu. Kadang diskusi seputar hukum-hukum syari’at yang dia baca. Jawaban yang ku berikan sepertinya tak membuatnya puas. Kelincahan retorika bicara membuatku kalah lapang saat itu. agi-lagi rasa kagum diam-diam terselip di sekujur tubuh. Ya,tak lebih dari rasa kagum.
            “Allahu Akbar..Allahu Akbar”.Suara itu menggema menggemparkan jagad raya. Tiba-tiba saja tenggorokan ini terasa dingin. Es kelapa muda tengah menjadi santapan buka puasa sore itu. Kami duduk berjejer diatas bangku panjang dibawah payung-payung hujan. Sebenarnya kelihatan romantis, ah tapi itu hanya kuungkapkan dalam hati,tak berani kubicarakan pada nya. Selanjutnya, dibalik kerudung cokelat yang ia kenakan,terselip sebuah harapan, menemaninya hingga pucuk malam. Bahkan gundukan sampah disamping gerobak  es menjadi saksi keluguan dua  insan.
            Sesaat malam semakin pekat. Meninggalkan sore   yang hangat. Kini udara berubah menjadi sejuk, entah malam itu terasa begitu tentram. Setentram jiwaku saat ini. Wajahnya terlihat samar, lampu kuning dipinggiran jalan menerangi wajahnya dari kegelapan malam. Kami berjalan menyusuri trotoar, bebas melangkah tanpa beban. Dari kejauhan terlihat jam’ah sudah membludak membanjiri masjid diawal perjumpaan malam ramadhan.
            Entah, malam itu telah menjadi malam bersejarah dalam hidup. Telah menjadi catatan penting sepanjang perjalanan mengenal seorang wanita. ”Ini buku kamu pegang dulu, biar aku wudhu duluan” sambil menyodorkan bebarapa buku yang ia beli barusan.Tanpa bicara ku raih buku itu dan menunggu giliran ia selesai. Ia masuk keruangan tempat khusus perempuan. Sedang aku masih asyik menyandarkan pundak ditembok halaman masjid. orang-orang berlalu lalang didepan tapi tak begitu kuperhatikan. Bahkan sempat ku acuhkan. Tatapan mata itu kosong. Entah-lah ada sesuatau yang menyelinap dalam benak dan pikiran.
            Shalat tarawih malam itu membuat ku semakin akrab. Canda tawa mengiringi budi pekertinya yang luhur. Bercerita panjang lebar tentang pengalaman masing-masing.Tanpa ada rasa bosan sedikitpun. Keramaian malam itu justru membuat keadaan semakin tenang. Dengan keadaan seperti itu terpaksa harus saya katakan, kebahagian meski  itu sebentar. Menjadi wanita sholihah adalah idaman setiap kaum hawa. Tak terkecuali perempuan yang sekarang berada dihadapan ku. Bahkan dia harus tersipu malu saat terang-terangan berkata “pengin jadi wanita shalihah”. Yah, perkataan itu sedikit tidak lazim apa bila dibicarakan di depan seorang lelaki. Nampaknya ambisi itu mengalahkan nalurinya sebagai mahluk yang kerap dikatakan sebagai manusia pemalu.
Malam  hendak beranjak keperaduannya. Rembulan semakin cerah menghiasi dinding langit. Tarian bintang pun bertaburan, menerangi malam yang semakin gelap. Sedang jiwa ini masih belum mau beranjak. Masih tetap mencari jawaban dari semua ini. Rasa penasaran terus membumbui pikiran. Andai malam tak berembun, andai fajar tak lagi bangun.Mungkin percakapan itu tak kan habis ditelan takdir. Biarlah malam hengkang lebih awal dari sebuah rasa yang sulit dipahami.
            Perpisahan tak kan terelakkan malam itu. Dia harus pulang sebelum larut. Walau rumah nya tidak jauh dari masjid tempat kami shalat.Tapi dia seorang anak yang taat sama orang tua. Hanya diberi waktu sampai selesai tarawih setelah itu harus pulang.
            Di pagi hari buta. Saat embun mulai  menguap menjadi waktu. Dan waktu pun terus berputar diatas porosnya. Waktu yang kadang menyengsarakan kadang juga membahagiakkan, tergantung mereka yang menggunakan waktu tersebut. Tapi kali ini, waktu yang menurut ku salah. Ia menjadikan malam itu sebagai malam   terakhir dari segalanya. Tak sempat ku temui dia kembali. Dia harus pulang ke kampus untuk mengikuti tes yang  sudah dijadwalkan. Sedang yang lebih memar, adalah aku harus pergi ketanah rantau. Bukan kepergianku yang ku sesali malah itu adalah cita-cita, tapi waktu yang tidak bersahabat. Kenapa harus sekarang tidak bisakah esok, minggu depan, atau bulan depan ?
            Mungkin salah jika aku menyalahkan takdir Tuhan, tapi itulah yang terjadi sebagai manusia biasa tentu memiliki rasa sedih dan sesal. Yah rasa itulah yang kerap menghampiri ku jelang kepergian ketanah rantau. Tapi itu cepat-cepat ku ralat. Setelah nasihat dari senior yang menggiurkan, janganlah bersedih dengan apa yang tidak seseuai dengan kehendak kita, tapi bersedihlah karena tidak bisa berdiri diatas kehendak-Nya.
            Itulah sepenggal kisah yang pernah menggerus rasa ini. Perjumpaan yang sepintas justru menyisakkan luka yang cukup lama terobati. Setahun telah kulalui tanpa lika-liku itu. Tanpa senyum, canda dan tawa manisnya. Jangan tanya berapa banyak ku menyesal, tak terhitung.
            Serpihan angin malam masih terus menemani. Sayup-sayup terdengar lantunan ayat suci, memecah keheningan sepertiga malam. Angin menjalar kesekujur tubuh, namun mata ini belum juga mau terlelap. Terasa ada yang mengganjal malam itu.  Terasa  ada yang tertinggal seandainya kuturuti kelopak mata yang mulai redup. Mungkin aku teringat sesuatu, ah bukan! lebih tepatnya sesosok. Sesosok wanita yang akhir-akhir ini singgah di ruang pikiran. Entah malam ini terasa dekat sekali dengan senyum, tawa dan gelak canda nya.
            Teka-teki itu masih belum ku temukan jawabannya. Ia masih menyelinap dalam inbox yang belum juga terbalas. Akhirnya ku putuskan untuk mencari jawaban itu. Memang kebanyakan mahasisiwa disini lebih asyik duduk berlama-lama di depan layar kaca. Walau tidak semua, hampir saja menjadi budaya. Aku pun begitu  sebelum tidur, kularikan mata ini pada kolom kotak masuk.
            Sungguh tak disangka. Aku benar-benar telah menemukan jawaban itu. Pesan datang dari nya. Apakah itu yang disebut firasat cinta ??. Entah lah, yang jelas sekarang dia mau angkat bicara.
            Paksaan atau juga kekangan. Menurutku itu sama saja. Setelah sang Ayah bergabung dengan sekelompok jama’ah, yang konon itu datang dari Saudi. Seorang Syekh yang bergamis lebar. Berjenggot lebat dan kerap memakai celana diatas mata kaki, bahkan hampir saja dibawah lutut. Itu telah merusak masa depannya. Memang disatu sisi, sang Ayah jadi lebih ‘alim. Sholat berjama’ah dimasjid selalu tepat waktu. Lebih sering ngobrol so’al agama. Bahkan hampir tiap malam, selalu ada kajian dirumahnya.
            Bukan hanya itu, sang ayah pun menumpahkannya kepada keluarga. Termasuk kepadanya. Dia pun harus mengenakkan cadar dan gamis yang hanya menghambat dia belajar. Sampai-sampai harus pindah kuliah, “ah, benar-benar seperti di neraka.” Ujarnya.
Dan yang lebih Ia takuti adalah, sang Ayah kerap membicarakan perihal jihad bersama teman-temannya. Kalau memang benar, Ayah sekarang terlibat jaringan teroris. Maka dia telah menjadi orang termalang di dunia.   “Mungkin ini sudah takdir ,“ ujarnya penuh putus asa.
            Aku benar-benar iba,mendengar semua cerita dari nya. Mungkin saat ini, kau sedang menangis, merintih, menjerit, meronta dan mengamuk sejadi-jadi nya.
            Kau mengatakan itu takdir. Takdir, banyak sekali yang tertipu dengan mahluk  yang satu ini. Bukankah takdir itu tak akan terjamah oleh nalar manusia. Janganlah mempersempit kehidupan dengan mengatakan “itu sudah suratan”. Karena masih banyak takdir-takdir yang berserakkan diluar sana dan mungkin itu lebih baik dari apa yang selama ini kita anggap sebagai takdir. Itu lah sedikit nasihat yang bisa kupersembahkan untuk sang bidadari. Sekedar menghibur menenangkan hatinya yang begitu gundah.
            Cukuplah malam berubah menjadi siang. Tapi jangan Kau rubah rasa itu menjadi lebur.  Kokohkan lah dengan keajaiban-Mu. Semua orang tahu, Engku-lah  yang menciptakan takdi yang benar-benar takdir. Malam semakin sunyi, kulihat Akhyar sudah terlelap dalam mimpi. Wajah dilayar kaca itu kupandangi dengan rasa melas. Betapa sakitnya sekarang, hidup dibawah kekangan orang tua. Sungguh tragis. Mungkin, sekarang kau sedang menangis. Mengusap-usap air mata yang menganak sungai. Merembes  hingga ke sekujur badan. Tapi sabar lah kawan, yakin kan hatimu bahwa itu bukan lah takdir. ” Karena itu semua bukan takdir.”

                                                     *Penulis adalah Mahasiswa fak. Syariah Islamiah


No comments:

Post a Comment